Senin, 05 Maret 2018

Colombo di Akhir Juli


Pesan singkat itu terkirim begitu saja ketika hati sudah memutuskan untuk mengakhiri cerita tanpa mula. Ah ternyata Colombo membawaku kepada kabar gembira. Dia tak jadi pergi, dia menyapa dengan kalimat yang menumbuhkan kembali apa yg coba ku akhiri.
Yaa..dia masih di sana. Di kota yang bagiku menjadi kota istimewa. Bukan karena apa, tentu karena ia ada di dalamnya. Menjadi bagian dari kisah tak berarah yg sering membuatku resah. Bukan hanya sehari dua hari, namun sejak aku paham arti ilustrasi, narasi, dan personifikasi. Wahai rasa, kan kau bawa kemana hati ini menderita.
Sesampai di kota itu, aku menunggu..
Tahukah kamu berapa kali aku melihat dari balik jendela, berharap kamu segera hadir di sana.
Kesabaran seolah menjauh dariku.. Ia ingin berlari lebih dulu menyapamu, menanyakan bagaimana kabarmu.
Sekali dua kali ada yg datang bukan sosokmu. Aku kecewa namun tak pernah lupa untuk tetap memandang dari balik jendela. Sampai pada ku dengar suara dibalik telepon. Yaa.. Suaramu.. Lantang nyaring sampai ke balik jendela lantai dua.
Sambil bersiap kulihat layar ponselku.
Pesan singkat dari nomormu dan nomor whatsapp mu mengucap kalimat yang sama. "aku ning lobby".
Kepalang tanggung jika saja tak ada norma mungkin aku sudah memelukmu.
(kuucap maaf kepada Penciptaku dan Penciptamu untuk hal ini, untuk cerita ini)
Hai cinta.. Apa kabar? Andai kalimat itu yang bisa terucap dari bibir sok manisku ini.
Hanya tawa dan sapaan yang tak ada istimewa-istimewanya yang bisa tersampai padamu. Dan kabarmu? Ah kamu menjadi lebih gemuk dari terakhir kita bertemu. Dan oh my God.. Kaca matamu.. Kenapa tak kau copot saja kaca mata hitammu itu? Salah tingkah aku takut kau memandangku di balik kaca mata itu.
Mungkin kau bisa menangkap getaran di balik suaraku. Mungkin juga kau dengan mudah menebak betapa dagdigdug aku menanti perjalananmu menemuiku.
Petang itu melalui Colombo kamu mengajakku ke eks tempat perjuanganmu. Aku bisa menebak bahwa kamu bukan orang biasa di sana. Kamu pasti telah mengukir cerita yg istimewa.
Menyusuri kota dan hanya sekedar untuk parkir motor sesaat. Menikmati sepotong ubi manis dan kedelai rebus sambil melihat beberapa pengunjung membuktikan salah satu dari sekian mitos kota istimewa ini. Di dalam hati Aku mau mencoba..tapi aku tak ingin menyudahi suasana itu. Bercengkrama denganmu di antara lalu lalang orang melintas di depan kita. Dahsyat..akhirnya aku melihat wajahmu tanpa kaca mata. Kamu masih sama...
Kita akhiri pertemuan hari itu setelah menikmati pecel lele di pinggiran stasiun. Kamu bilang ingin lele tapi hanya tempe yang kamu pesan. Bodohnya aku yang tak bisa menikmati banyak makanan, hebatnya kamu yang menghabiskan. Kenapa kamu begitu istimewa?
Kamu berjanji mengunjungiku sebelum aku kembali. Ku kira malam berikutnya atau malam berikutnya lagi. Sampai aku yang memintamu untuk menemuiku lagi. Malam terakhir sebelum aku kembali aku menunggumu. Kembali detak jantung ini tak karuan melihat pesan darimu yg mengabarkan kamu datang.
Bicara kemana saja.. Beberapa kisah yang tak bisa kutuliskan.. Dalam beberapa jam sampai kamu pamit pulang. Ku pandang punggungmu sambil membayar secangkir kopi hitam kental tanpa gula. Setelah aku mengejarmu sudah tak terlihat di depan mata. Tetap saja mulut ini memilih untuk bungkam. Diam tanpa pernah bisa menyebut kata suka, kata cinta. Ah seandainya kamu tahu.. Atau sebaiknya memang kamu pura-pura tak tahu karena besar kemungkinan kamu sadar apa yg terjadi padaku.
Semua istimewa tapi aku berharap berjalan seperti biasa.sampai pada akhirnya waktu yg membawaku menuju ketentuanNya. Bisa jadi denganmu ataupun merelakan kebahagiaanku dengan Nya.
Inspired in Jogjakarta 25-29 Juli 2016


*Kisah ini sudah diterbitkan di watpadd  tahun 2016 lalu..
Dan jika kubaca lagi tulisan ini muncullah kiasan,
gegara baper sedetik, rusaklah move on sekian warsa... 😢


Tidak ada komentar:

Posting Komentar